Jumat, 16 Desember 2011

Muslim SH, Anggota DPR : Nilai Nasionalisme Makin Menipis, Saatnya Kita Kembali Ke Pancasila

JAKARTA (wartamerdeka.com)


Maraknya berbagai persoalan belakangan ini, membuat masyarakat semakin khawatir, bagaimana selanjutnya masa depan bangsa ini. Ada 3 (tiga) bagian besar, yang menjadi perbincangan, yakni: mulai dari ideologi Pancasila yang makin menipis dalam kehidupan bermasyarakat; ragam tudingan terhadap kalangan DPR RI; hingga hasil survey yang menunjukkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Nasional, SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono). Muslim SH, anggota DPR RI Komisi X Bidang Pendidikan Nasional (sebelumnya di Komisi II-Bidang Pemerintahan-red), menyatakan keprihatinannya dengan makin menipisnya nilai-nilai Pancasila diterapkan di masyarakat.

Kepada wartawan, dia mengungkapkan unek-unek dan solusinya menyangkut masalah itu. Dia memberikan banyak pula pemikiran, pencerahan, koreksi hingga bagaimana sebaiknya ke depan. Bahkan dia pun berbagi pengalaman, dari kunjungan kerjanya ke Parlemen Amerika Serikat, dan kunjungan kerja dari Sabang sampai Merauke, pada masa reses selama ini.

Anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrat, daerah pemilihan NAD (Nangroe Aceh Darussalam) ini, merespons kedatangan wartawan, yang menemuinya di lobby Hotel Mulia, Jakarta, kemarin, berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana Bapak melihat persoalan bangsa belakangan ini, terutama soal Pancasila yang makin lama makin terlupakan?

Ya. Terus terang memang, melihat nilai-nilai Pancasila yang makin menipis di masyarakat, kita juga prihatin. Pancasila yang dulu menjadi mata pelajaran utama sejak SD, hingga di kuliah, masih ada Kewiraan, hari ini sudah tidak ada lagi. Makanya, kita melihat sekarang, rasa memiliki dari bangsa ini makin hari makin menipis. Ini menyebabkan pula, rasa Nasionalisme makin jauh dari apa yang kita harapkan.

Coba kita lihat orang Amerika. Mereka sangat menjunjung tinggi Nasionalisme mereka, United States. Kebetulan saya baru pulang kunjungan kerja dari Parlemen dan Kemenlu Amerika. Nah, padahal Nasionalisme kita juga sudah ada dari dulu. Dalam butir-butir Pancasila itu sudah jelas. Persoalannya, kenapa kita tidak bisa demikian?

Menurut Bapak, apa yang salah dalam hal ini?

Tentu kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Bahwa jika kita bandingkan antara kurikulum yang dulu dengan sekarang, ada banyak program pendidikan kita yang sudah bagus. Dari evaluasi kita, maka perlu kembali lagi ke awal, dimana Pancasila dan UU Dasar 1945, itu sejak dini harus ditanamkan kembali bagi pendidikan dasar. Sebab Pancasila dan UUD ’45 itu sudah final dan harga mati. Kita tahu, bagaimana dulu ‘ founding father’ kita membangun pondasi Negara ini dengan perjuangan dan darah. Maka kita sekarang ini wajib menjalankannya secara detail. Bukan hanya formalistik, tapi harus terlihat dalam implementasi sikap dan perilaku kita. Apalagi sudah jelas ada Bhinneka Tunggal Ika, yang mempersatukan Nusantara ini, dari Sabang sampai Merauke. Kebetulan saya juga sudah pernah kunker dari Sabang sampai Merauke. Bukan hanya itu. Pendidikan budi pekerti itu, harus dihidupkan kembali.

Apakah sudah cukup Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di pendidikan dasar sekarang ini hingga di perkuliahan dengan Kewiraan tadi?

Saya pikir, ini harus terus-menerus dan secara konsisten dijalankan kesinambungannya. Kalau kita cermati, anak-anak didik kita sekarang ini, mungkin banyak yang sudah tidak tahu sejarah bangsanya. Termasuk misalnya, siapa Presiden RI pertama, kedua dan seterusnya. Bahkan kalau kita bandingkan kita di zaman orde baru dulu, nama para Menteripun kita sangat hafal. Tapi sekarang, jangankan anak didik kita, para anggota DPR-pun mungkin belum tentu semua hafal nama-nama Menteri. Nah, ini kan nilai-nilai positip yang perlu kita ambil. Dengan diajarkannya kembali PMP, maka saya pikir, itu akan menumbuhkan Nasionalisme, rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air. Tentu pendidikan budi pekerti itu tadi sangat penting. Jadi kalau dulu ada program pendidikan yang sudah bagus, rasanya kita tak perlu malu untuk menghidupkan kembali dalam kurikulum pendidikan kita sekarang.

Dalam mensosialisasikan Pancasila dalam 4 pilar Berbangsa dan Bernegara, apakah sudah cukup hanya dengan anggota DPR dan DPD, atau memang perlu ada lembaga khusus?

Alhamdulillah, selama 3 kali masa reses, memang kita sudah menjalankannya dengan baik. Masyarakat di dapil saya juga begitu antusias. Tapi memang, secara teknis pelaksanaan, jika kita hitung dengan budget terbatas Rp. 15 juta, dengan masa reses seperti ini, maka kalau dihitung dengan jumlah anggota DPR 560 orang, dikali rata-rata 75 orang peserta sosialisasi, ya, paling masih berapa ratus ribu orang yang bisa dicover. Maka, kalau kita mau jujur, tentu perlu ada lembaga khusus yang betul-betul konsern mengurus sosialisasi 4 pilar tadi, apapun namanya. Dan dalam pelaksanaannya, perlu melibatkan para akademisi, LSM, termasuk media, maupun unsur-unsur lainnya di lembaga khusus itu. Coba kita lihat NGO di negara-negara lain. Mereka betul-betul bisa memberdayakan NGO-nya untuk hal-hal khusus bagi negaranya. Mestinya kita juga bisalah. Tentu dengan catatan, tidak boleh digunakan penguasa untuk kepentingan tertentu seperti zaman Orde Baru.

Jika memang perlu lembaga khusus mengurusi Pancasila, apakah ada kendala secara politis maupun keberatan soal anggaran?

O..saya pikir tidak ada ya. Memang perlu keberanian dan ‘political will’. Sepanjang itu benar, untuk kepentingan rakyat, Bangsa dan Negara, untuk masa depan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan betul-betul bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat secara transparan, ‘go a head’ aja. Membangun bangsa ini kan memang perlu keberanian. Gak perlu takut terhadap siapapun. Termasuk juga dalam membangun gedung baru DPR. Ini kan bukan keinginan. Tapi kebutuhan. Dan gedung itu bukan untuk kepentingan anggota sekarang saja. Manfaatnya bisa digunakan untuk 50 hingga 100 tahun mendatang. Untuk generasi selanjutnya. Mestinya itu kita bangun saja.

Dalam penelitian pakar, banyak Undang-undang (UU) yang tidak sinkron dengan roh Pancasila. Bahkan banyak dinilai ditunggangi kepentingan Pengusaha, Penguasa, bahkan pihak Asing, yang justru merugikan rakyat. Bagaimana pendapat Bapak?

Ya. Makanya begini. Ini sesuatu yang perlu konsernlah. Khususnya bagi teman-teman kami di DPR, agar semangat membuat UU itu, adalah semangat kebangsaan itu tadi. Semangat Nasionalisme tadi. Semangat kepentingan bangsa dan Negara. Bukan kepentingan Penguasa dan Pengusaha semata. Ya, ini juga yang membuat banyak pertanyaan terhadap DPR dalam proses keputusan bikin UU. Karena sarat dengan kepentingan. Makanya, sayapun turut menghimbau: Kita hilangkanlah, kepentingan-kepentingan sepihak tadi. Yang kita kedepankan adalah, kepentingan bangsa dan negara, serta rakyat. Tapi dalam hal ini kita kritik juga. Ini semata-mata bukan lelemahan dan kesalahan teman-teman DPR. Disisi lain juga, Pemerintah juga harus mendukung sepenuh hati, terhadap UU yang disiapkan. Karena ada UU dari Pemerintah, ada juga yang inisiatif DPR. Kita berharap, ada sinergitas. Sebab kalau tidak, akan berdampak terhadap kepentingan rakyat. Karena UU-nya gak kelar-kelar, karena sarat kepentingan itu tadi. Kenapa kita tidak kompak, untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara?

Tapi persoalannya, di era Reformasi yang multipartai, sulit kompak untuk kepentingan rakyat. Bagaimana solusinya?

Saya pikir begini. Memang dalam dalam politik kan tidak ada yang ideal. Bicara politik, bicara kepentingan. Tapi, ketika ada kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa dan negara, maka kita menghimbau, kita mengharapkan, kepada semua partai politik, kita ajak berpikir bijak, dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara itu tadi. Tapi ini yang saya lihat belum dilakukan.

Makanya, kita berharap di DPR ini ke depan, Pimpinan DPR harus sering mengundang, apakah bentuknya ‘Coffee Morning’ misalnya, dengan fraksi-fraksi di DPR, untuk berdiskusi atau dialog. Dengan teman-teman media, entah sebulan sekali. Ya, kita bicarakan persoalan bangsa ini disitu. Sehingga, pihak media juga memahami keinginan dari wakil rakyat ini, demikian sebaliknya. Sebab saya melihat, ada mispersepsi dan miskomunikasi atara media dengan DPR dalam hal ini. Saya yakin, kalau komunikasi selalu dibangun, apapun product yang dibikin di DPR, pasti di-back up oleh media. Karena apa? Yang dibuat DPR kan semata-mata untuk kepentingan rakyat juga. Sekarang ini kan, ada kecurigaan sebagian teman-teman media, terhadap adanya sinyalemen kepentingan penguasa maupun pengusaha itu tadi! Tapi ketika komunikasi dibangun, saya kira akan semakin menghilangkan jarak. Sehingga diharapkan, akan sampai ke tujuan kepentingan rakyat itu tadi. Memang benar, media sebagai ‘social control’. Tapi kan media juga punya kewajiban untuk menginformasikan yang baik terhadap masyarakat. Demikian juga pers dengan Pemerintah. Penting membangun komunikasi itu. Sebab, kalau Pers tidak mendukung Pemerintah, nah bagaimana Negara bisa maju? Ya, itulah perlunya membangun komunikasi itu tadi. Kan begitu. (DANNY PH SIAGIAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apakah yang seharus nya dilakukan oleh Anggota DPR RI untuk mensejahterkan Rakyat?

Leave a Reply

Leave a Reply

ALQUR'AN